Sabtu, 12 Februari 2011

Memetakan Kehidupan








Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau bahkan seperti orang yang sekedar lewat (HR Bukhari).

 
Rasulullah saw bersabda: Yang paling cerdas...yang paling pintar...yang paling mulia di antara umatku adalah siapa diantara mereka yang paling banyak ingat mati dan mempersiapkan hidup setelah mati.


Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati (QS Al Anbiya (21): 35).

Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula) mendahulukan(nya) (QS Yunus (10): 49).

Wahai Saudaraku...

Apa yang akan kita lakukan????
Lalu, bagaimana dengan perjuangan kita dalam menegakkan agama Allah??? Lalu, apa usaha yang telah kita lakukan untuk mensyiarkan kalimat Alah di Bumi-Nya ini???
Apa bekal yang telah ada pada kita cukup membuat kita merasa mampu dan layak  untuk menghadap Allah seandainya “Kalimat Terindah” yang ditujukan kepada kita itu disampaikan oleh utusannya Sang Malaikat Maut???

Rabu, 09 Februari 2011

Nasehat Untuk Para Lelaki yang Ntar Bakalan Jadi Seorang Suami

“Jika engkau menikahi seorang wanita maka jadilah engkau laksana seorang ayah, ibu, atau saudara baginya. Karena seorang wanita yang telah meninggalkan ayahnya, ibunya, serta saudaranya dan kemudian ikut denganmu maka sudah menjadi haknya untuk melihat pada dirimu kebaikan seorang ayah, kasih sayang seorang ibu dan kemurahan hati seorang saudara. Jika engkau menjalankan nasehat ini, niscaya engkau akan menjadi suami terbaik yang sukses.

Marilah kita sambut calon istri kita kelak dengan cara terindah yang belum pernah ada. Kenapa harus didengungkan kata-kata cinta sebelum waktunya. Jadilah seorang lelaki yang mempunyai harga diri dan bertanggung jawab. Yang terbaik hanya pantas diberikan kepada yang terbaik saja. Tidak selayaknya kita memberikan kepada wanita yang bukan hak kita. Katakanlah dengan tegas kepada mereka. Ucapkanlah dengan lantang dihadapan mereka. Aku tidak akan mengatakan kata sayang padamu sekarang. Aku juga tidak akan pernah mengungkapkan kata cinta padamu saat ini. Bila telah tiba masanya, aku hanya ingin mengatakan...Maukah kau menikah denganku dan mengandung anak-anakku wahai bidadariku!!!


Mencintai ataukah Dicintai


Disaat cinta menyapa, engkau takkan mampu menghadangnya…
Namun engkau dapat mengarahkannya…
Letakkan ia pada posisi dan marhalahnya (tempatnya)…
Maka engkau akan menemukan makna cinta yang sesungguhnya…
Bersabarlah….
(*** *******)

Dengan berbekal ingatan yang aku dapat ketika tengah membaca beberapa buah buku
Kemudian mengutip tulisan-tilisan luar biasa dari Ust. Anis Mattta, aku tuang semuanya dalam sebuah note ini. Waktu telah menunjukkan sepertiga malam awal, tapi belum juga membuatku terlelap. Bahkan aku masih terjaga, asyik berkutat dengan penelitian yang sungguh bahannya sangat minim sekali. Deadline yang mepet, persiapan yang serba kepepet ditambah lagi pikiranku yang ribet semakin membuat gundah hati ini.

Tetapi sebenarnya ada masalah lain yang membuat pikiranku kacau…lebih tepatnya gelisah. Semoga dengan menuangkan note ini bisa membuatku lebih merasa tenang, sedikit menurunkan ambang gelisahku di tingkat yang serendah-rendahnya….
Amin…

Ketika harus dihadapkan pada dua pilihan apakah mencintai ataukah dicintai. Saya lebih memilih mencintai. Karena mencintai adalah pekerjaan jiwa yang identik dengan memberi dan takkan bisa memberi orang yang tidak mempunyainya. Mencintai tidaklah harus memiliki karena memiliki bukanlah tujuan dari mencintai, ia hanyalah dampak atau hadiah dari ketulusan dari yang memberi.
Mencintai sangat bisa diupayakan, karena ia hadir dari dalam diri. Tapi dicintai itu adalah kemungkinan, ia hadir dari luar dan mungkin datang bila diperlukan atau mungkin ia tak akan pernah datang sama sekali. Berharap untuk dicintai itu sah-sah saja, manusiawi. Namun kau harus siap karena bila tak sesuai harapan bisa timbul rasa kecewa.

 

Mencintai erat kaitannya dengan memberi. Ust.Anis matta mengatakan bahwa dalam suatu proses makna memberi, posisi orang yang memberi adalah sangat kuat. Kita tak perlu merasa kecewa ataupun terhina dengan penolakan, atau lemah atau bahkan melankolis saat kasih kandas karena takdir-Nya. Sebab disini kita justru sedang melakukan sebuah pekerjaan jiwa yang besar dan agung yaitu mencintai.
Karena mencintai adalah keputusan. Yang menjadi masalah adalah...Siapa yang berhak untuk dicintai.

Timbul suatu pertanyaan konyol dari dalam diriku....Apakah mencintai lebih mulia daripada dicintai...ataukah kita pilih mencintai karena dicintai akan hadir ketika kita mencintai terlebih dahulu. Atau mungkin kita pilih kedua-duanya karena mencintai adalah sebuah keindahan sedang dicintai adalah sebuah kebahagiaan, sehingga kedua-duanya terasa sangat indah. Tapi mungkin itulah rahasia kehidupan. Semuanya dimulai dari cinta yang kita beri.


Aku mencintai orang-orang yang sholeh,
Meskipun aku belum termasuk golongan mereka
Aku membenci orang orang yang durhaka
meskipun mungkin aku termasuk golongan mereka
(Imam Syafii)

Bertanya Pada Hati


Cita dan tujuan selalu ada jauh di depan
Gairah dan hasrat membuatnya terasa dekat
Jikapun kemudian ia masih tampak gelap atau buram
Itu karena mata yang kita pakai untuk melihatnya terletak dalam hati
Apakah kau mendengar suaranya saat memohon untuk tak dikotori???

Salim A.Fillah



Tak ada yang lebih jernih dari suara hati, ketika ia menegur kita tanpa suara. Teguran yang begitu halus, begitu bening dan begitu dalam. Tak ada yang lebih jujur dari hati nurani, saat ia menyadarkan kita tanpa kata-kata. Nasehatnya begitu bening, dan kita tak kuasa menyangkal. Tak ada yang lebih tajam dari mata hati, ketika ia menghentak kita dari beragam kesalahan dan alpa. Begitu tipis, begitu mengiris. Berbahagialah orang-orang yang seluruh waktunya dipenuhi kemampuan untuk jujur pada nurani dan tulus mendengarkan suara hati.

Hati bicara tanpa kata, menjawab tanpa suara, dan sering menyengat tanpa terlihat. Tapi ia terasa. Sebab, dari sanalah banyak tindakan dan perilaku kita mengambil kiblatnya. Dari sana amal-amal dan segala proses kehidupan kita menapakkan pijakannya berupa niat dan tekad. Maka Rasulullah menggambarkan, bahwa hati adalah raja. Jika ia berdenyut baik, maka baik pula seluruh raga yang berdetak dalam iramanya. Jika ia rusak, maka rusak pula semuanya.

Setiap kita punya hati, dan didalamnya nurani kita terus bergeletar menyerukan pesan Ilahi. Permasalahnnya kemudian adalah bisa tidaknya pesan nurani itu bergerak keluar menembus dinding hati lalu terdengar bergerincing. Seringkali ia hanya berbisik. Tak jelas. Atau bahkan terbungkam. Itu karena karat-karat dosa menjerujinya, kemudian setiap suara hati hanya mampu menggetarkan jeruji-jeruji itu. Hingga seringkali kita mengira suatu bisikan sebagai suara hati, padahal itu adalah geretak jeruji dosa dan palang-palang nafsu. Nurani yang berbisik, menyakiti hawa nafsu yang mengungkungnya. Lalu hawa nafsu berteriak nyaring. Dan dialah yang kita dengar.


Yang paling aku takutkan ialah keakraban hati dengan kemungkaran dan dosa
Jika suatu kedurhakaan berulangkali dikerjakan
Maka jiwa menjadi akrab dengannya
Hingga ia tak lagi peka, mati rasa

---Hasan Az Zayyat, Rahimahullah—

Hukuman terberat atas suatu dosa, kata Ibnul Jauzi dalam Shaidul Khathir, adalah perasaan tidak berdosa. Ya, karena merasa tak berdosa adalah kain kafan yang membungkus hati ketika ia mati.

Saudaraku, kadang kita memerlukan saat-saat sepi untuk bertanya pada hati. Dalam tafakur di malam yang sunyi misalnya, mudah-mudahan bisikan hati nurani itu terdengar lebih jelas. Atau satu waktu kita mengambil jeda dari rutinitas, mengisinya dengan aktivitas ruhani. Mudah-mudahan saat itu kita bisa mengenali suara hati di antara bising-bising nafsu.

(Goresan jari jemari cerdik Salim A. Fillah dalam Jalan Cinta Para Pejuang...Nurani, Bertanya Pada Hati hal.214-218)